Berita  

Temukan Fakta Baru Soal Batas Ulayat, Tokoh Adat Tebedo dan Nggorang Serahkan Dokumen ke Pemerintah

Medialabuanbajo.com, – Sejumlah warga ulayat dan tokoh adat dari Dusun Tebedo, Desa Pota Wangka, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, bersama perwakilan Ulayat Nggorang, mengunjungi Kepala Desa Tanjung Boleng, Batu Cermin, Lurah Wae Kelambu, Polres Manggarai Barat, dan Kantah ATR/BPN pada Kamis 27 November 2025.

Mereka datang untuk menyerahkan fakta baru berupa dokumen batas tanah ulayat yang mencakup lingko Bale, Nerot, dan Menjerite.

“Kami baru-baru ini menemukan dokumen yang menunjukkan bahwa, meskipun sering ada klaim dari pihak Terlaing yang mengatakan mereka langsung berbatasan dengan ulayat Nggorang, menurut sejarah, yang sebenarnya berbatasan adalah kami (ulayat Tebedo). Ini sudah diakui secara lisan dan tertulis oleh pihak Nggorang,” jelas Alex Hata, tokoh adat Tebedo, yang didukung oleh Alias Arsyad, perwakilan ulayat Nggorang, pada Kamis sore.

Alex menegaskan bahwa kehadiran perwakilan Nggorang kali ini bertujuan untuk menegaskan bahwa mereka (Nggorang) tidak berbatasan langsung dengan Terlaing, tetapi dengan Tebedo.

“Benar, dulu ada yang disebut ‘Kar’ sebagai batas kedaluan. Namun, dengan berjalannya waktu, sistem kedaluan dihapuskan. Meskipun begitu, ‘Kar’ yang menunjukkan batas antara Boleng dan Nggorang tetap ada,” tambah Alias Arsyad, tokoh ulayat Nggorang itu.

Alias menekankan bahwa titik batas terdekat dari ulayat Nggorang adalah Tebedo, bukan Mbehal atau Terlaing dan tradisi itu masih dipertahankan hingga saat ini.

“Dulu, ada banyak interaksi antara Nggorang dan Tebedo. Jika Nggorang melewati batas, biasanya ada pendekatan untuk menyelesaikannya, dan itu sudah berlangsung sejak lama,” kata Alias.

Penyerahan dokumen itu untuk mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengurus administrasi pertanahan.

“Ini penting agar ke depannya para kades, lurah, dan pemerintah tidak terjebak dalam narasi kebohongan seperti yang pernah terjadi sebelumnya,” ungkapnya.

Mengenai kebohongan tersebut, lanjut Alex bahwa mereka telah menyampaikan sanggahan yang sudah direspons oleh pemerintah Desa dan Kelurahan berupa surat pernyataan pencabutan tanda tangan dan stempel.

“Apa yang mereka tandatangani sebelumnya kini telah dibatalkan, dan inilah suratnya,” ujar Alex Hata, sambil menunjukkan surat pernyataan dengan nomor: Pem 593/138/I/2022 yang ditandatangani oleh Lurah Markus Randu pada 21 Januari 2022, lalu.

Berikut isi surat tersebut. 

Pertama, Mencabut atau membatalkan tanda tangan lurah Wae Kelambu dan stempel kelurahan Wae kelambu pada sketsa tanah Persekutuan adat kampung beo Terlaing Nggesik atau Pola Tebedo status adat gendang weta-nara  abad 16 sampai sekarang yang dibuat Terlaing Agustus 2017.

Kedua, Mencabut atau membatalkan tanda tangan lurah Wae Kelambu dan stempel Kelurahan Wae Kelambu dalam surat pernyataan pengakuan tua mukang Rangko yang dibuat dan di tanda tangani oleh Abdullah Duwa tertanggal 13 Agustus 2018;

Ketiga, mencabut atau membatalkan tanda tangan lurah Wae Kelambu dan stempel Kelurahan Wae Kelambu pada gambar/sketsa tanah adat tertanggal 13 September 2019 yang dibuat oleh tua gendang weta-nara Terlaing/Tebedo yang ditanda tangani oleh Hendrikus Jempo dan Tahan Theodorus, disetujui dan ditandatangani oleh Tua Golo Terlaing Bonefasius Bola dan Tua Mukang Timbus/Rangko Abdullah Duwa.

Gabriel Nantu, Tua Golo Tebedo mengungkapkan rasa syukur atas upaya yang telah dilakukan oleh Alex Hata dan para tetua adat lainnya, termasuk Nggorang.

“Dari lubuk hati saya sangat berterima kasih atas penjelasannya. Hari ini, kami warga Tebedo sepakat untuk menyerahkan dokumen batas wilayah kepada kepala desa dan lurah di sekitar daerah ulayat kami,” ujarnya.

Sementara itu, Agustinus Albu, yang mengaku sebagai warga Terlaing, menjelaskan bahwa Terlaing dan Tebedo adalah satu kesatuan bernama [Weta-Nara]. Dia juga menyatakan dukungannya terhadap tindakan Alex Hata dan tetua adat Tebedo.

“Kami sebagai [weta] sangat mendukung agar di masa depan semua orang tahu bahwa Tebedo dan kami, warga Terlaing, merupakan bagian dari [weta nara],” katanya.

Meski begitu, Alex Hata dan Agus Albu mengakui bahwa baik Tebedo maupun Terlaing tetap menghormati Mbehal sebagai ulayat tertua.

Augustinus Albu berharap agar konflik ase kae Mbehal dan Mbehal Tebedo termasuk konflik weta nara yang telah berlangsung lama dapat diselesaikan dengan cara yang baik dan bijaksana. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *