Medialabuanbajo.com,– Tim gabungan resmi menetapkan tiga pria berinisial AB, AD, dan Y sebagai tersangka kasus perburuan liar di kawasan Taman Nasional (TN) Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut dari operasi penangkapan yang diwarnai kontak senjata di perairan Selat Sape Pulau Komodo, pada Minggu 14 Desember 2025.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menyatakan bahwa ketiga tersangka merupakan bagian dari jaringan pemburu yang kerap menyasar satwa dilindungi di kawasan konservasi.
“Penindakan terhadap perburuan liar adalah komitmen Kementerian Kehutanan untuk melindungi keberagaman hayati. Kami tidak hanya bertindak tegas terhadap pelaku, tetapi juga terus mengungkap jejaring yang terlibat, termasuk peredaran senjata rakitan,” ujar Dwi dalam keterangan pers, Jumat (19/12/2025).
Kronologi penangkapan bermula pada Minggu dini hari sekitar pukul 02.30 WITA. Tim gabungan yang terdiri dari Balai Gakkumhut Jawa Bali Nusa Tenggara (JBN), Balai TN Komodo, Korpolairud Baharkam Polri, dan Polres Manggarai Barat memergoki sebuah kapal kayu di sekitar Loh Serikaya, Pulau Komodo.
Saat hendak disergap, kapal pemburu tersebut berusaha melarikan diri. Meski petugas telah memberikan peringatan lisan dan tembakan peringatan ke udara, para pelaku membalas dengan melepaskan tiga kali tembakan ke arah kapal petugas. Kontak senjata pun pecah di perairan Selat Sape hingga tim gabungan berhasil melumpuhkan dan mengamankan tiga tersangka.
Dari hasil penggeledahan dan penyelaman di lokasi kejadian, petugas menyita sejumlah barang bukti berupa: 1 pucuk senjata api rakitan beserta magazine; 8 butir peluru aktif kaliber 5.56 mm dan 10 selongsong peluru; 1 ekor rusa timor hasil buruan; Pisau, senter kepala, ponsel, dan satu unit kapal kayu.
Para tersangka kini dijerat dengan pasal berlapis. Pertama, UU RI Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp5 miliar.
Kedua, terkait kepemilikan senjata api ilegal, mereka disangkakan melanggar UU Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Pendekatan Budaya dan Ekonomi
Selain penegakan hukum, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) berencana mengurai akar masalah perburuan liar melalui pendekatan antropologi budaya dan ekonomi. Kemenhut mengidentifikasi bahwa faktor ekonomi sering kali menjadi pendorong masyarakat di sekitar kawasan untuk terlibat dalam perburuan rusa.
Dwi Januanto menjelaskan, rusa timor (Cervus timorensis) adalah spesies kunci yang menjadi sumber pakan utama komodo. Hilangnya populasi rusa akan mengganggu stabilitas ekosistem savana di TN Komodo.
“Masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan penindakan. Kami perlu melibatkan masyarakat dalam upaya pelestarian melalui alternatif mata pencaharian yang lebih ramah lingkungan,” tambah Dwi.
Kasus ini kini sedang dalam proses penyidikan lebih lanjut melalui mekanisme multidoors bersama Penyidik Polri guna memutus rantai pasokan senjata api rakitan dan perdagangan satwa ilegal di wilayah tersebut. (*)













