Medialabuanbajo.com,- Maraknya peredaran berbagai jenis rokok ilegal di Flores-NTT, khususya di wilayah Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur memantik perhatian banyak pihak beberapa tahun terakhir.
Di tengah banyaknya aksi penangkapan dan penyitaan rokok ilegal oleh Bea Cukai dan pihak kepolisian, rupanya tak memberikan efek jera untuk pemain rokok ilegal di Manggarai Raya.
Informasi yang diperoleh Medialabuanbajo, rokok ilegal berbagai jenis masih marak beredar, seperti Humer, FS29, Tator Bold, dan jenis lainnya.
Mereka beredar luas hampir tanpa kendala, karena ditemukan di banyak tempat di Manggarai Raya. Harganya murah, mudah didapat, dan dijual secara terbuka.
Di Labuan Bajo misalnya, salah satu pedagang mengaku rokok ilegal lebih banyak diminati, karena harganya murah.
“Masih banyak yang cari, laris, karena harganya murah” katanya, Sabtu 8 November 2025.
Namun ia mengaku tidak mengetahui distributor rokok ilegal tersebut, baik jenis rokok Humer, FS29, dan Tator.
“Kami tidak tahu juga, biasanya ada yang antar, kadang pakai mobil, kadang pakai motor” ujarnya.
Di balik asap murah itu tersembunyi rantai distribusi panjang yang melibatkan banyak tangan, dari pabrik rumahan di Madura hingga menuju Pulau Flores.
Madura telah lama dikenal sebagai episentrum industri rokok ilegal di Indonesia. Di balik rumah-rumah sederhana di Pamekasan dan Sumenep, mesin pelinting bekerja siang dan malam memproduksi merek seperti Humer, tanpa izin resmi dan tanpa cukai.
Sejak lama, pabrik-pabrik ini hidup dari sistem perlindungan. Bukan hanya karena lemahnya pengawasan, tapi karena ada kepentingan politik dan ekonomi yang saling menopang.
Dari Madura, Humer menyeberang ke Flores melalui jalur laut. Hasil penelusuran lapangan Medialabuanbajo, menemukan bahwa barang ini dikirim dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Pelabuhan Wae Kelambu, Labuan Bajo, yang menjadi pintu utama peredaran ke seluruh Flores.
Satu truk ekspedisi rata-rata mengangkut hingga 50-100 dos sekali muat (1 dos berisi 80 slop, dan 1 slop berisi 10 bungkus rokok). Dalam sebulan, pengiriman bisa mencapai tiga kali.
“Kami biasa muat rokok Humer dari Surabaya kae. Biar aman, biasanya kami campur dengan barang lain. Satu bulan bisa tiga kali. Bukan hanya kami yang muat, banyak ekspedisi juga,” ujar L, seorang sopir ekspedisi yang menjadi sumber lapangan.
Setelah tiba di Labuan Bajo, rokok-rokok itu didistribusikan menggunakan truk kecil menuju Tentang, Ruteng, Anam, Terang, Borong, hingga Bajawa. Arus distribusi ini berjalan nyaris tanpa hambatan.
Banyak Pemain
Salah satu alasan peredaran rokok ilegal begitu masif diduga karena tidak ada pemain tunggal. Sistemnya bercabang dan terdesentralisasi, dengan banyak figur lokal berperan sebagai penghubung antara distributor besar di Jawa dan pasar kecil di Flores.
Seorang narasumber yang cukup lama bekerja sebagai sales rokok ilegal menuturkan, untuk rokok Humer, F sebagai pemegang kendali peredaran di Wilayah, Kecamatan Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat. Wilayah Kecamatan Boleng dikendalikan oleh K.
Sedangkan untuk wilayah Manggarai, dekendalikan oleh Y, warga asal Desa Bulan, Kecamatan Ruteng. Y diduga menjadi distributor utama yang akan mengedarkan rokok Humer di wilayah Manggarai.
Hasil penelusuran menemukan beberapa nama yang berulang disebut dalam jaringan ini.
Di Manggarai, tempat Y, kios-kios kecil juga menjual Humer secara bebas, meski gudang besar tidak ditemukan. Sementara itu di Terang, K diduga menguasai dan mengendalikan pasar yang ada di pulau-pulau yang ada di kabupaten Manggarai Barat.
Selain F, Y, dan K, muncul nama FE di Manggarai yang menjadi distributor rokok ini untuk wilayah Ruteng hingga Manggarai Timur.
Di Labuan Bajo, dua toko besar, Toko M yang berada di depan kompleks SMA Katholik labuan bajo dan Toko I yang terletak dijalan Soekaro-Hata Bawah, diduga telah menjadi simpul utama peredaran di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya.
“Kalau di Labuan Bajo pusatnya di Toko M dan Toko I kae,” ujar sumber tersebut.
Di Toko M, seorang pelayan mengaku stok Humer sedang habis.
“Rokok Humer habis, om,” jawabnya kepada awak media saat ingin membeli rokok tersebut.
Upaya konfirmasi terhadap F, Y, K, dan FE telah dilakukan dengan mengajukan permohonan wawancara melalui pesan di aplikasi WhatsApp. Namun pesan tersebut tidak pernah direspons.
Padahal, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terus menggencarkan upaya pengawasan terhadap peredaran barang-barang ilegal khususnya rokok tanpa cukai. Operasi pemberantasan rokok ilegal merupakan langkah untuk melindungi masyarakat dan mengamankan perekonomian nasional.
Hingga akhir September 2025, dari 13.484 kali penindakan yang dilakukan, DJBC berhasil menyita total 816 juta batang rokok ilegal. Jumlah tersebut naik tajam sebesar 37% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Adapun rokok ilegal yang disita didominasi oleh 72,9% Sigaret Kretek Mesin (SKM); 21,3% Sigaret Putih Mesin (SPM); dan sisanya 5,8% adalah jenis lain.
Meskipun semua rokok berbahaya, rokok ilegal membawa risiko kesehatan yang lebih besar karena kualitasnya tidak terjamin dan tidak melalui pengawasan pemerintah.
Rokok ilegal disinyalir sering mengandung zat berbahaya (tar dan nikotin) yang kadarnya jauh lebih tinggi. Bahkan, ada kemungkinan mengandung bahan kimia berbahaya, formalin, atau bahan pengawet lainnya yang dapat memperburuk kerusakan pada organ tubuh.
Sama seperti rokok legal, konsumsi rokok ilegal meningkatkan risiko penyakit kronis seperti kanker paru-paru, stroke, serangan jantung, dan gangguan pernapasan. Namun, risiko ini diperparah karena kualitas bahan yang tidak jelas.
Ditambah lagi, rokok ilegal sering tidak mencantumkan peringatan kesehatan secara grafis sesuai aturan pemerintah, sehingga informasi mengenai bahaya merokok tidak tersampaikan dengan baik.
Dampak Hukum
Peredaran rokok ilegal memiliki konsekuensi hukum yang serius. Pasal 54 dan 56 UU Cukai secara tegas melarang produksi, peredaran, dan penjualan rokok ilegal. Penjual rokok tanpa pita cukai dapat dikenakan sanksi berat berdasarkan UU Cukai.
Pasal 54: Setiap orang yang membuat atau menjual rokok tanpa cukai dapat dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda hingga 10 kali nilai cukai yang seharusnya dibayarkan.
Pasal 55: Jika seseorang menjual rokok dengan pita cukai bekas, palsu, atau salah peruntukan, dapat dikenakan denda hingga 5 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pasal 56: Pihak yang memperjualbelikan atau mengedarkan rokok ilegal dapat dikenakan sanksi pidana berupa denda dan penyitaan barang ilegal tersebut.
Selain sanksi pidana, pihak berwenang juga dapat melakukan tindakan tegas berupa razia dan penyitaan rokok ilegal di pasaran.
Pembeli, terutama yang membeli dalam jumlah besar atau untuk diperjualbelikan kembali, juga dapat dianggap turut serta dalam peredaran barang ilegal. Sehingga dapat terjerat pasal-pasal dalam UU Cukai dengan ancaman denda atau pidana.
Ancaman hukuman yang tegas ini merupakan upaya pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat, menjaga penerimaan negara, dan menciptakan iklim usaha yang adil di sektor hasil tembakau.
Kerugian Negara
Menurut data Direktorat Jenderal Bea Cukai, pada 2024 lebih dari 400 juta batang rokok ilegal disita di seluruh Indonesia.
Kementerian Keuangan memperkirakan kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal mencapai Rp7,7 triliun per tahun.
Namun di Manggarai Raya, rokok ilegal tetap mengepul di tangan rakyat kecil, menjadi simbol lemahnya kontrol negara dan bocornya sistem penegakan hukum di wilayah kepulauan.
Rokok itu bukan sekadar rokok tanpa cukai. Ia adalah cermin kompromi sosial-politik yang dibiarkan tumbuh, hasil kawin silang antara ekonomi bawah tanah dan kekuasaan yang berpura-pura buta.
Selama jaringan perlindungan masih hidup dan hukum berhenti di pinggir jalan, Humer,FS29, dan Tator Bold, akan terus menjadi asap yang tak kunjung padam. Dari pelabuhan ke kampung, dari tangan ke tangan, asap tetap mengepul, mengaburkan batas antara yang legal dan yang dilindungi. (*)















