OPINI – Tim Redaksi
Medialabuanbajo.com,- Niat Pemerintah Daerah Manggarai Barat (Pemda Mabar) meningkatkan pendapatan daerah dari sektor usaha melalui penyertaan modal pada Perusahan Daerah (Perumda) Bidadari, sepertinya masih menjadi impian belaka, bahkan bisa berujung petaka.
Sejak Perusahaan Daerah ini beroperasi, terus saja mengalami kerugian dengan nilai yang fantastis.
Keberadaan Perumda Bidadari secara legal diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2020 tentang Perusahan Umum Daerah Bidadari.
Pada pasal 6 Perda tersebut diterangkan bahwa terdapat 5 (lima) kegiatan usaha yang akan digeluti oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ini yakni Jasa Konstruksi, Industri Pariwisata, Perdagangan Umum, Pasar dan Parkir.
Penjabaran dari 5 kegiatan usaha itupun telah diatur secara detail dalam Peraturan Bupati Manggarai Barat Nomor 70 Tahun 2021 tentang Cakupan usaha Perumda Bidadari.
Dari modal yang telah disetorkan, mirisnya hingga saat ini, diduga baru satu jenis usaha saja yang mampu dijalankan Perumda Bidadari, yakni usaha Perdagangan dengan membuka 3 (tiga) gerai yang menjual produk-produk UMKM di kompleks Batu cermin dan Bandara Komodo, Labuan Bajo.
Sebagai perusahaan daerah keberadaaan Perumda Bidadari mestinya mempunyai peran strategis di satu sisi sebagai institusi yang berorientasi sosial memberikan layanan public namun disisi lain juga berorientasi ekonomi yaitu mendapatkan profit atau keuntungan yang bisa mendorong peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Bidadari Manggarai Barat kini berada pada titik kritis. Ia tidak hanya gagal menjalankan fungsi ekonomi, tetapi juga menjadi simbol akut inefisiensi dan praktik nepotisme dalam tata kelola BUMD.
Pemerintah Daerah Mabar harus mulai melihat Perumda Bidadari dengan kacamata logika bisnis yang tegas: Profit atau Bubar.
Dari aspek rasionalitas bisnis tentu ada pertanyaan, kapan modal berhenti disuntik?
Setiap tahun, Perumda Bidadari menerima kucuran dana lebih dari satu miliar rupiah sebagai modal investasi.
Di tahun 2024, Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi melantik Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah ( perumda) Bidadari Elisabet Maria Mersin masa jabatan 2024-2029 di aula Setda Senin (01/07/2024).
Di awal kepemimpinan ipar wakil bupati Manggarai Barat itu, mendapatkan suntikan modal sebesar Rp3 milyar.
Sementara di tahun 2025, Pemerintah kembali disuntik modal Rp1.5 miliar yang dalam laporannya, modal ini dihabiskan untuk gaji dan operasional.
Dalam prinsip bisnis yang sehat, suntikan modal ini harus menghasilkan pengembalian (profit) dalam jangka waktu yang wajar. Namun, Perumda Bidadari telah bertahun-tahun gagal mencatatkan keuntungan. Bukan hanya saat berada ditangan Direktur baru, tetapi juga di tangan Dirut sebelumnya.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: Mengapa APBD terus mendanai kegagalan?
Dalam dunia korporasi swasta, perusahaan yang terus merugi tanpa prospek yang jelas akan menghadapi likuidasi atau pembubaran. Dana ber miliyaran rupiah yang disuntikkan setiap tahun adalah darah APBD yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur atau pelayanan publik.
Mempertahankan entitas yang merugi secara kronis adalah bentuk pemborosan publik yang tidak termaafkan.
Mungkinkah ini terjadi karena adanya kegagalan struktural dan relasi kekuasaan?
Kegagalan finansial Perumda Bidadari tak bisa dilepaskan dari kegagalan struktural dalam manajemen.
Terungkap bahwa Dirut Perumda yang memimpin selama periode kegagalan bertahun-tahun ini ditetapkan karena memiliki relasi keluarga (Ipar Wakil Bupati). Hal ini menyingkap lapisan masalah yang lebih dalam:
Pertama, Melanggengkan Inkompetensi; penempatan orang berdasarkan relasi, bukan kompetensi (nepotisme), secara otomatis menghalangi profesional terbaik untuk memimpin, sehingga kegagalan bisnis adalah konsekuensi logis yang terhindarkan.
Kedua, Imunitas Kegagalan; karena memiliki relasi kekuasaan, pimpinan yang gagal cenderung memiliki “imunitas” terhadap sanksi atau evaluasi serius, yang memungkinkan kerugian terus berlanjut tanpa pertanggungjawaban.
Selain itu, praktik rekrutmen tenaga kerja yang tidak profesional semakin menguatkan dugaan bahwa Perumda ini dikelola sebagai job center bagi kolega, bukan sebagai entitas bisnis yang dituntut efisiensi.
Hal tersebut membutuhkan tindakan tegas pemerintah. Pemda Manggarai Barat tidak boleh lagi menunda. Langkah-langkah ini harus segera diambil:
Pertama, Stop Permodalan dan Ultimatum Likuidasi; hentikan seketika suntikan modal tahunan. Berikan ultimatum kinerja yang ketat dalam kurun waktu 6 bulan. Jika target profit tidak tercapai, Pemerintah Daerah harus berani mengambil opsi pembubaran (likuidasi) Perumda Bidadari.
Kedua, Audit Total dan Tinjau Ulang Jabatan; segera lakukan audit total terhadap keuangan Perumda.
Kemudian, tinjau ulang secara independen penetapan Dirut dan semua jajaran direksi yang terbukti memiliki konflik kepentingan atau minim kompetensi.
Ketiga, Reformasi Total SDM; seluruh proses rekrutmen harus dibongkar total dan dilaksanakan secara terbuka, transparan, dan berbasis profesionalisme (meritokrasi) untuk memutus rantai ‘titipan’ yang merusak efisiensi perusahaan.
Perumda Bidadari harus segera kembali ke jalur profesional atau lenyap sama sekali, demi menyelamatkan dana publik yang terus terbuang sia-sia.
Apalagi ditengah kondisi efisiensi. Pemerintah harus mulai berpikir dengan skala prioritas, apakah mempertahankan atau menginvestasikan pada perusahan yang secara jelas gagal atau harus melayani kepentingan masyarakat dengan membangun infrastruktur yang belum tuntas?. (*)



