Berita  

Tangkap Sopi, Polisi di Matim dan Mabar Lebih Ramah ke Rokok Ilegal

Medialabuanbajo.com,- Polres Manggarai Timur dan Manggarai Barat serentak melakukan penyitaan ratusan liter minuman keras tradisional jenis Sopi.

Polres Manggarai Timur menyita tujuh jerigen jumbo berisi total 210 liter minuman keras (Miras) tradisional jenis Sopi di Terminal Borong, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Senin (3/11/2025).

Kasat Reskrim Polres Manggarai Timur IPTU Ahmad Zacky Shodri menjelaskan bahwa kegiatan penertiban minuman keras merupakan tindak lanjut instruksi Kapolda NTT untuk melakukan razia rutin di seluruh wilayah hukum kepolisian.

“Kegiatan ini diharapkan dapat menekan angka tindak pidana yang sering dipicu oleh konsumsi minuman keras. Selain itu, juga bertujuan menciptakan ketertiban dan rasa aman bagi masyarakat,” jelas IPTU Zacky.

Polres Manggarai Timur kata dia telah memetakan sejumlah titik produksi Sopi tradisional yang menjadi sumber peredaran miras di masyarakat.

Langkah itu, merupakan bagian dari upaya memutus rantai distribusi minuman keras tanpa izin yang kerap memicu gangguan keamanan dan ketertiban.

“Setelah tahap penertiban di pasar dan terminal, langkah berikutnya adalah menelusuri tempat-tempat pembuatan miras. Kami akan melakukan pemeriksaan terhadap produsen yang tidak memiliki izin resmi,” ujar Zacky dilansir Victorynews.

Selain itu, Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Manggarai Barat juga menyita dua jerigen dan puluhan botol minuman beralkohol atau minol tanpa ijin edar di beberapa lokasi di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Penyitaan Sopi saat kegiatan rutin yang ditingkatkan (KRYD), dipimpin KBO Satresnarkoba Polres Manggarai Barat, IPDA I Komang Ariasha, pada Sabtu 1 November 2025, malam yang lalu.

“Total minuman beralkohol ilegal yang disita kurang lebih mencapai 98 liter dengan rincian dua jerigen berukuran 35 liter dan 43 botol berukuran 600 mili liter,” kata Kasi Humas Polres Mabar, IPDA Hery Suryana, Senin 3 November 2025.

Tuai Protes

Aksi penyitaan terhadap minuman tradisional “Sopi” oleh polisi mendapatkan protes keras dari warga.

Warga Manggarai Barat, Adrianus mengaku prihatin terhadap penyitaan sejumlah minuman tradisonal jenis Sopi oleh polisi, itu dinilai tidak menghargai budaya Manggarai.

Menurutnya, Sopi merupakan bagian dari budaya Manggarai, sebab semua ritus adat Manggarai menggunakan Sopi, termasuk ritus ada menjemput tamu di setiap kampung.

“Kalau pejabat berkunjung ke kampung, pasti ada ritus adat kapu, pasti itu menggunakan sopi. Bahkan bapak polisi masuk kampung kami terima dengan kepok tuak,kenapa saat-saat ritual adat seperti itu bapak pol tidak mau tangkap?” katanya.

Tanggapan lain juga dari akun Facebook Itok Aman. Ia menyoroti sikap polisi yang lebih sigap tangkap penjual sopi dibandingkan rokok ilegal yang beredar luar di wilayah Manggarai Raya.

“Polres Matim punya cara kerja begini? Serendah ini? Rokok ilegal? Atau kalian isap rokok ilegal juga? Butuh uang rokok? Kami siap Galang dana. Kabari, Kak Coklat! Kabari… Ah. Murahan sekali. Rendahan sekali kalian. Pak Kapolres, segini saja? Memalukan! Hina sekali kalian… Murahan” tulis akun Facebook Itok Aman yang disertakan dengan tangkapan layar berita penyitaan sopi oleh Polres Manggarai Timur.

Itok Aman menilai polisi di Manggarai Timur tidak paham budaya Manggarai, merasa berhasil dengan menyita sopi tetapi tidak malu membiarkan rokok ilegal beredar bebas.

“Percaya diri sekali Anak-anak baju cokelat ini. Ehm…. Dapat berapa dari rokok ilegal? Murahan!” tulis akun Facebook Itok Aman.

Lebih lanjut Itok Aman menjelaskan, bahwa pemerintah provinsi NTT telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol Khas Nusa Tenggara Timur untuk mengatur produksi dan penjualan sopi secara legal dan terkontrol.

Bukan Legalisasi Sopi, Pemprov NTT lebih menggunakan istilah pengaturan atau tata kelola daripada legalisasi, karena sopi secara historis dan budaya sudah melekat di masyarakat NTT.

Tujuan Pengaturan jelas Itok, bertujuan untuk memurnikan, mengontrol produksi (dari aspek lokasi, bahan baku, proses, dan pemanfaatan), serta mengelola minuman tradisional beralkohol khas NTT untuk meningkatkan nilai ekonomi lokal dan menekan peredaran alkohol ilegal.

Produk Resmi “Sophia”, sebagai tindak lanjut dari Pergub tersebut, Pemprov NTT berencana memproduksi dan menjual sopi secara resmi di bawah merek dagang Sophia (Sopi Asli) dengan kadar alkohol tertentu (bisa mencapai 40 persen).

Itok Aman juga mengungkapkan, Pemprov NTT secara tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol di tingkat pusat karena dinilai dapat menghancurkan budaya dan ekonomi lokal NTT yang telah lama hidup dari produksi sopi.

Selain Pergub, pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota di NTT juga didorong untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) terkait perlindungan kekayaan intelektual dan pengaturan sopi di wilayah masing-masing.

“Tahu apa si coklat ini tentang kekayaan intelektual? Belum lagi kita bicara soal kekayaan budaya dan warisan. Rokok ilegal yang beredar luas kalian lepas bebas liarkan? Tolol…!!!” tulisnya.

Menelusuri Jaringan Rokok Ilegal

Pulau Flores, yang dikenal dunia karena pesona wisata Labuan Bajo, menyimpan sisi kelam yang jarang tersorot. Di balik panorama eksotis dan geliat pariwisata, beroperasi jaringan bisnis gelap yang sunyi namun tertata rapi: peredaran rokok ilegal, salah satunya merek Humer.

Dari kios kecil di Manggarai Barat hingga kampung-kampung terpencil di Manggarai Timur, Humer beredar luas tanpa pita cukai. Harganya murah, mudah didapat, dan dijual secara terbuka tanpa rasa bersalah.

“Kalau jual Humer, laris e kae. Murah, banyak orang yang suka,” ujar seorang pedagang di Manggarai Barat, menggambarkan normalisasi penjualan rokok ilegal di pedalaman Flores.

Namun di balik asap murah itu tersembunyi rantai distribusi panjang yang melibatkan banyak tangan, dari pabrik rumahan di Madura hingga menuju Pulau Flores.

Madura telah lama dikenal sebagai episentrum industri rokok ilegal di Indonesia. Di balik rumah-rumah sederhana di Pamekasan dan Sumenep, mesin pelinting bekerja siang dan malam memproduksi merek seperti Humer, Luffman, dan Gudang Baru — seluruhnya tanpa izin resmi dan tanpa cukai.

Laporan Radar Madura (2019) dan Kompas (2020) menegaskan bahwa pabrik-pabrik rumahan tersebut tidak berdiri sendiri. Mereka tumbuh di bawah “perlindungan” tokoh politik dan pengusaha berpengaruh.

“Sejak lama, pabrik-pabrik ini hidup dari sistem perlindungan. Bukan hanya karena lemahnya pengawasan, tapi karena ada kepentingan politik dan ekonomi yang saling menopang,” tulis Kompas dalam laporannya.

Dari Madura, Humer menyeberang ke Flores melalui jalur laut. Hasil penelusuran lapangan Medialabuanbajo, menemukan bahwa barang ini dikirim dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Pelabuhan Wae Kelambu, Labuan Bajo, yang menjadi pintu utama peredaran ke seluruh Flores.

Satu truk ekspedisi rata-rata mengangkut hingga 50-100 dos sekali muat (1 dos berisi 80 slop, dan 1 slop berisi 10 bungkus rokok). Dalam sebulan, pengiriman bisa mencapai tiga kali.

“Kami biasa muat rokok Humer dari Surabaya kae. Biar aman, biasanya kami campur dengan barang lain. Satu bulan bisa tiga kali. Bukan hanya kami yang muat, banyak ekspedisi juga,” ujar L, seorang sopir ekspedisi yang menjadi sumber lapangan.

Setelah tiba di Labuan Bajo, rokok-rokok itu didistribusikan menggunakan truk kecil menuju Tentang, Ruteng, Anam, Terang, Borong, hingga Bajawa. Arus distribusi ini berjalan nyaris tanpa hambatan.

Banyak Pemain

Salah satu alasan mengapa peredaran Humer begitu masif diduga karena tidak ada pemain tunggal.

Sistemnya bercabang dan terdesentralisasi, dengan banyak figur lokal berperan sebagai penghubung antara distributor besar di Jawa dan pasar kecil di Flores.

Seorang narasumber yang cukup lama bekerja sebagai sales rokok ilegal menuturkan:

“Untuk rokok Humer, pemainnya om Flori di Tentang, trus ada om Yos di daerah Anam, trus Kerabun di Terang”katanya.

Hasil penelusuran menemukan beberapa nama yang berulang disebut dalam jaringan ini.

Flori, pemilik toko di Kecamatan Ndoso, Manggarai Barat, menjual Humer secara terbuka dengan harga Rp15.000 per bungkus, Rp120.000 per slop, dan Rp1,2 juta per bal.

Di Anam, Manggarai, tempat Yos, kios-kios kecil juga menjual Humer secara bebas, meski gudang besar tidak ditemukan.

Sementara itu di Terang, Kerabun diduga menguasai dan mengendalikan pasar yang ada di pulau-pulau yang ada di kabupaten Manggarai Barat.

Selain Flori, Yos, dan Kerabun, muncul nama Febri di Manggarai yang menjadi distributor rokok ini untuk wilayah Ruteng hingga Manggarai Timur.

Di Labuan Bajo, dua toko besar, Toko M yang berada di depan kompleks SMA Katholik labuan bajo dan Toko I yang terletak dijalan Soekaro-Hata Bawah, diduga telah menjadi simpul utama peredaran di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya.

“Kalau di Labuan Bajo pusatnya di Toko M dan Toko I kae,” ujar sumber tersebut.

Di Toko M, seorang pelayan mengaku stok Humer sedang habis.

“Rokok Humer habis, om,” jawabnya kepada awak media saat ingin membeli rokok tersebut.

Sementara itu, pelayan di Toko I membantah menjual rokok Humer.

“Kami tidak jual rokok itu, om,” ucapnya.

Namun fakta berbeda ditemukan di toko milik Flori di Kampung Tentang, Ndoso, di mana Humer tanpa cukai dijual secara terbuka dengan harga Rp15.000 per bungkus, Rp.120.000 per slop, dan Rp1,2 juta per bal.

Penelusuran ke wilayah Anam memang tidak berhasil menemukan gudang besar tempat penampungan milik Yos, tetapi hampir setiap kios kecil di wilayah sekitar hingga Kecamatan Rahong Utara menjual Humer secara bebas.

Upaya konfirmasi terhadap Flori, Febri, Yos dan Kerabun  telah dilakukan dengan mengajukan permohonan wawancara melalui pesan di aplikasi WhatsApp. Namun pesan tersebut tidak pernah direspons.

Meski aparat gabungan kerap melakukan razia, peredaran Humer tetap bertahan. Kesaksian para pemain mengindikasikan adanya kompromi antara pelaku dan oknum aparat penegak hukum.

Beberapa razia memang pernah digelar, namun penindakan selalu berhenti di level pedagang kecil. Di lapangan, peredaran Humer tetap berjalan lancar.

Di wilayah pulau Papa Garang, pulau mesa, lembor, kuwus, Ruteng, Boawae, hingga Nagekeo, kemasan biru-putih Humer tanoa cukai inj dijual terbuka seperti rokok biasa. Bahkan di Labuan Bajo, rokok ini masih ditemukan di kios-kios kecil di Waemata, Kaper, Lancang dan beberapa titik lainnya.

Kerugian Negara 

Menurut data Direktorat Jenderal Bea Cukai, pada 2024 lebih dari 400 juta batang rokok ilegal disita di seluruh Indonesia.

Kementerian Keuangan memperkirakan kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal mencapai Rp7,7 triliun per tahun.

Namun di Flores, Humer tetap mengepul di tangan rakyat kecil, menjadi simbol lemahnya kontrol negara dan bocornya sistem penegakan hukum di wilayah kepulauan.

Humer bukan sekadar rokok tanpa cukai. Ia adalah cermin kompromi sosial-politik yang dibiarkan tumbuh, hasil kawin silang antara ekonomi bawah tanah dan kekuasaan yang berpura-pura buta.

Selama jaringan perlindungan masih hidup dan hukum berhenti di pinggir jalan, Humer akan terus menjadi asap yang tak kunjung padam.

Dari pelabuhan ke kampung, dari tangan ke tangan, asap Humer tetap mengepul, mengaburkan batas antara yang legal dan yang dilindungi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *